“Membaca adalah jembatan ilmu.” Sepertinya pepatah tersebut di era modern seperti saat ini sudah tidak begitu diindahkan. Terlebih lagi di era smartpone yang semakin hari semakin bertambah kepintarannya. Alhasil, anak zaman now lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain ponsel daripada membaca buku. Orang tua di seluruh negeri ini mungkin bisa merasakan dampaknya. Anak-anak mereka lebih tertarik untuk bermain games dan menonton Tiktok ketimbang membaca buku.
Berbeda dengan zaman dulu, ketika smartphone belum mewabah seperti sekarang, membaca masih menjadi hobi yang paling menyenangkan untuk anak-anak.
Seorang penulis sejarah tersohor Amerika, Barbara W. Tuchman (1912) menyemat definisi buku demikian, “Books are engines of change (buku adalah mesin perubahan), windows on the world (jendela dunia), lighthouses (rumah terang). They are companions, teachers, magicians, bankers of the treasures of the mind (buku adalah sahabat, guru, dan banker dari pikiran manusia). Books are humanity in print (buku adalah bentuk manusia dalam versi cetak).”
Saking pentingnya buku, Barbara yakin tanpa buku, sains menggelepar, sejarah menjadi mati, ilmu menjadi pincang, pikiran dan spekulasi membeku, dan peradaban sehat akan kian tenggelam.
Tokoh sesukses apa pun di dunia ini tidak pernah memulai karya besarnya tanpa buku. Sebagai contohnya, ada Bill Gates dan Albert Einstein. Mereka adalah orang yang tak menjejal sekolah setinggi langit. Namun, ilmu pengetahuan mereka sangat luas dan dalam melampaui gelar dan institusi akademik sekarang. Rahasianya adalah karena mereka sangat suka membaca buku. Dari buku, mereka mengeksplorasi pengetahuan.
Lalu, bagaimana cara kita meningkatkan minat membaca kepada anak-anak kita? Ini menjadi tantangan tersendiri untuk para penggiat literasi. Terlebih kita tahu bahwa kesadaran literasi di Indonesia mendapat peringkat kedua dari belakang. Ini tentu memprihatinkan. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada cara sama sekali.
Read more: BUDAYA MEMBACA YANG KIAN TENGGELAM TERKIKIS ERA MODERNISASI